MK: Sanksi Pidana dalam UU Hak Cipta Harus Jadi Alternatif Terakhir

9 hours ago 8

Jakarta, CNN Indonesia --

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan sanksi pidana dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta harus menjadi alternatif terakhir. MK memandang penerapan pidana dapat menghambat seniman berkarya.

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mempertimbangkan frasa 'huruf f' dalam norma Pasal 113 ayat (2) UU 28/2014 yang menurut Para Pemohon (sejumlah musisi) bertentangan dengan prinsip legalitas dan asas ultima ratio dalam hukum pidana, serta menimbulkan kekhawatiran yang mengancam rasa aman dan kebebasan berkarya bagi pelaku pertunjukan yang telah beriktikad baik menjalankan ketentuan Pasal 23 ayat (5) UU 28/2014.

Terhadap dalil Para Pemohon a quo, MK memandang penting mengutip norma Pasal 113 ayat (2) yang menyatakan,"Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500 juta."

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berkenaan dengan hal itu, Enny menerangkan Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta pada dasarnya merupakan norma sekunder yang mengikuti pengaturan dalam norma primernya, yaitu Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h yang menentukan pencipta atau pemegang hak cipta pada pokoknya memiliki hak ekonomi yang merupakan hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi.

Ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU Hak Cipta secara keseluruhan menentukan adanya kewajiban untuk mendapatkan izin pencipta atau pemegang hak cipta bagi orang yang akan melaksanakan hak ekonomi yang telah ditentukan dalam Pasala quo.
Ketentuan ini diikuti pula dengan pengaturan larangan dalam Pasal 9 ayat (3) UU Hak Cipta sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Mahkamah di atas.

Artinya, norma Pasal 113 ayat (2) yang dipersoalkan oleh Para Pemohon sesungguhnya dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum perlindungan hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta dari setiap bentuk penggunaan ciptaan secara komersial tanpa izin.

"Oleh karena itu, pelanggaran hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta karena menggunakan ciptaan secara komersial tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta haruslah mengedepankan sanksi administratif dan mekanisme keperdataan, dibandingkan sanksi pidana," kata Enny dalam putusan perkara nomor: 28/PUU-XXIII/2025, Rabu (17/12).

Menurut dia, hal tersebut sejalan dengan prinsipultimum remidiumdalam hukum pidana yang meletakkan sanksi pidana sebagai upaya terakhir untuk menyelesaikan suatu masalah hukum.

Dalam konteks hak cipta, sanksi pidana hanya akan diterapkan setelah semua upaya penyelesaian mekanisme yang lain, seperti sanksi administratif atau perdata, dinilai tidak memadai atau tidak memberikan penyelesaian.

"Terlebih, penerapan sanksi pidana sebagai upaya pertama akan dapat menimbulkan kekhawatiran atau ketakutan bagi pengguna ciptaan yang banyak berprofesi sebagai seniman, musisi, dan pelaku pertunjukan, untuk tampil di ruang publik," ucap Enny.

"Hal tersebut berpengaruh pula pada ekosistem seni dan budaya, yaitu kreativitas mereka dalam mengekspresikan dan menampilkan suatu karya," sambungnya.

Jika dikaitkan dengan latar belakang perubahan UU Hak Cipta melalui UU 28/2014 salah satunya dimaksudkan agar hak cipta dapat menjadi basis terpenting dari ekonomi kreatif nasional yang memenuhi unsur pelindungan dan pengembangan ekonomi kreatif.

Dalam kaitan ini, kerugian yang ditimbulkan oleh pelanggaran hak cipta pada dasarnya merupakan kerugian ekonomi yang bersifat multi aspek, tidak hanya bersifat personal yang menitikberatkan pada kepentingan pribadi.

Atas dasar itu, menurut MK, akan lebih tepat jika penyelesaiannya tidak langsung menggunakan mekanisme sanksi hukum pidana.

"Oleh karena itu, penyelesaian sengketa yang ditempuh seharusnya adalah dengan terlebih dahulu mengedepankan proses penyelesaian secara administratif dan/atau keperdataan sebelum menempuh proses penegakan sanksi hukum pidana," lanjut Enny.

Berkenaan dengan hal di atas, MK memahami kehendak Para Pemohon yang menginginkan agar frasa "huruf f" dalam rumusan Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta dihapus sehingga Pasal 9 ayat (1) huruf f yang khusus mengatur mengenai pertunjukan ciptaan sebagai salah satu hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta, dikecualikan dari ketentuan pidana penjara dan/atau pidana denda pada Pasal 113 ayat (2).

"Namun demikian, sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, penerapan sanksi pidana seharusnya menjadi alternatif terakhir," tegas Enny.

(ryn/ugo)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Infrastruktur | | | |