KERINCI – SUNGAI PENUH – Carut-marut program P3A (Perkumpulan Petani Pemakai Air) dalam skema TGAI di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh semakin terbongkar. Temuan terbaru di Koto Baru Hiang, Kecamatan Sitinjau Laut, Kabupaten Kerinci menguatkan dugaan bahwa proyek ini gagal secara teknis, tidak transparan, dan berpotensi merugikan petani sebagai penerima manfaat utama.
Tim investigasi LAKI (Lembaga Anti Korupsi) menemukan proyek irigasi tersebut tanpa memasang papan informasi dari awal hingga selesai. Kondisi ini menutup akses publik terhadap informasi dasar, mulai dari nilai anggaran, volume pekerjaan, hingga pihak pelaksana. Tanpa papan proyek, masyarakat kehilangan hak untuk melakukan kontrol sosial atas penggunaan dana negara.
“Proyek ini tidak transparan sejak awal. Tanpa papan informasi, publik otomatis dikaburkan dari akses mengetahui kegiatan yang menggunakan uang negara, ” ujar Nazardin, tim investigasi LAKI.
Selain itu, di lapangan ditemukan bahwa pekerja yang mengerjakan proyek bukan berasal dari warga setempat, bahkan ada yang berasal dari luar Kabupaten Kerinci. Fakta ini menimbulkan dugaan kuat bahwa proyek tidak dikelola oleh P3A setempat, melainkan diambil alih pihak ketiga yang mengerjakan tanpa menempatkan petani sebagai pelaksana utama sebagaimana konsep program P3A–TGAI (Perkumpulan Petani Pemakai Air – Tematik Padat Karya Tunai Irigasi).
“Tenaga kerja dari luar ini makin memperkuat dugaan bahwa proyek sudah dialihkan ke pihak ketiga. Padahal tenaga kerja lokal yang justru seharusnya diberdayakan, ” ungkap Nazardin.
Di titik akhir jaringan irigasi, ditemukan kejanggalan konstruksi. Beberapa meter saluran hanya mem-plester bagian kiri, kanan, dan atas saluran lama, sementara area lain dibiarkan tanpa perbaikan. Bekas saluran lama masih tampak jelas seolah pekerjaan dilakukan parsial dan terburu-buru, sekadar untuk memenuhi bentuk fisik tanpa mempertimbangkan standar teknis.
Masalah paling fatal berada pada fungsi aliran air. Konstruksi saluran baru berada lebih tinggi dari saluran lama sehingga air tidak dapat mengalir masuk ke jaringan yang baru dibangun. Kondisi ini mengindikasikan potensi proyek mubazir, karena infrastruktur tidak memberi manfaat dan gagal menjalankan fungsinya.
“Air dari saluran lama lebih rendah dari konstruksi baru. Secara teknis mustahil mengalir. Ini jelas mengarah ke kerugian bagi petani, ” tegas Nazardin.
Kasus di Koto Baru Hiang bukan insiden tunggal. Pola serupa juga muncul di berbagai titik lain di Kerinci dan Sungai Penuh: tidak ada papan proyek, mutu konstruksi diragukan, pelaksanaan tidak sesuai swakelola, hingga dugaan intervensi pihak luar. Pola berulang ini menunjukkan bahwa persoalan P3A di wilayah ini bukan salah urus sesaat, tetapi mengarah pada potensi kerusakan tata kelola secara sistemik.
Nazardin menegaskan perlunya audit fisik dan audit fungsi terhadap seluruh proyek P3A–TGAI di Kerinci dan Sungai Penuh. Pemeriksaan tidak boleh sekadar mengandalkan laporan administratif, tetapi turun langsung untuk menguji apakah infrastruktur benar-benar mengalirkan air dan memberi manfaat bagi petani.
“Kalau jaringan irigasi tidak berfungsi, berarti ada yang salah dalam prosesnya. Ini harus diperiksa secara menyeluruh dan dipertanggungjawabkan, ” pungkasnya.
Hingga berita ini ditayangkan, pihak pemerintah desa, pelaksana kegiatan, dan dinas teknis belum memberikan keterangan resmi.(son)

2 days ago
11

















































