Jakarta, CNN Indonesia --
Koalisi Kodifikasi untuk Undang-undang Pemilu menolak gagasan yang dilontarkan Presiden RI Prabowo Subianto perihal keinginan mengembalikan pemilihan kepala daerah (Pilkada) lewat DPRD.
Koalisi mengatakan dalih ongkos politik yang tinggi dalam Pilkada langsung sebagaimana diutarakan Prabowo bukan menjadi persoalan utama. Menurut mereka tang menjadi permasalahan sebenarnya adalah tata kelola pemilu yang belum serius dibenahi negara.
"Gagasan tersebut tidak hanya salah arah secara substansial, tetapi juga memperlihatkan sikap nirempati terhadap rakyat yang sedang menghadapi situasi sulit," kata koalisi melalui siaran persnya, Minggu (7/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ketika publik membutuhkan kepastian perlindungan dan kehadiran negara dalam penanganan bencana, para elite justru sibuk mendiskusikan rekayasa politik yang berpotensi mengerdilkan hak-hak demokratis rakyat," imbuhnya.
Koalisi Kodifikasi untuk Undang-undang Pemilu terdiri dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Pusat Studi Konstitusi (Pusako) FH Universitas Andalas, Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), dan Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit).
Kemudian Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Themis Indonesia, Migrant CARE, Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), dan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet).
Menurut koalisi, tingginya ongkos politik bukan disebabkan mekanisme Pilkada langsung, melainkan biaya kampanye yang tidak terkendali--termasuk praktik politik uang seperti jual beli suara maupun jual beli kursi pencalonan.
Dalam siaran persnya, koalisi sipil itu mengutip riset dari Muhtadi (2018) yang menunjukkan sekitar 25-33 persen pemilih pada Pemilu 2014 terpapar politik uang. Angka itu sangat mungkin meningkat pada Pilkada 2024.
Koalisi menyatakan politik uang berlangsung masif di seluruh arena elektoral di Indonesia, termasuk pilkada.
Selain itu, faktor lain yang membuat ongkos politik semakin mahal adalah tingginya biaya pencalonan, yakni seluruh biaya yang harus dikeluarkan bakal calon sejak tahap awal.
Biaya itu mencakup konsolidasi dukungan politik sejak dini mulai dari mahar politik kepada partai, pembiayaan survei elektabilitas, hingga belanja komunikasi dan jaringan politik.
"Karena tidak seluruh biaya tersebut diatur dalam skema dana kampanye resmi, praktik pendanaan kandidasi sering berlangsung tanpa transparansi dan memperbesar ketergantungan calon pada pemodal tertentu," ucap koalisi.
"Dengan demikian, tingginya ongkos Pilkada bukanlah disebabkan oleh mekanisme pemilihan secara langsung, melainkan oleh proses pencalonan yang transaksional dan tidak akuntabel," sambungnya.
Koalisi memandang menyelesaikan persoalan tersebut dengan menghapus Pilkada langsung adalah langkah keliru dan tidak menyentuh akar masalah.
Bila logika ini dipakai secara konsisten, kata koalisi, maka pemilu-pemilu lain pun berpotensi dihapus hanya karena tingginya praktik politik uang.
Padahal, Pilkada langsung adalah capaian penting dalam konsolidasi demokrasi Indonesia pascareformasi, yang memperluas ruang akuntabilitas, membuka partisipasi publik, dan mendorong kompetisi yang lebih terbuka," imbuhnya.
Peristiwa di masa kepresidenan SBY
Koalisi mengingatkan publik bahwa wacana penghapusan Pilkada langsung bukanlah hal yang baru.
Pada ujung masa pemerintahannya, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah menghadapi situasi politik yang serupa dengan konteks saat ini.
Ketika itu DPR mengesahkan perubahan UU Pilkada yang menghapus mekanisme pemilihan langsung dan mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD.
Namun, SBY menilai langkah tersebut sebagai kemunduran demokrasi karena justru membuka ruang transaksi politik yang lebih gelap di balik pintu tertutup parlemen daerah, serta mengurangi hak rakyat untuk menentukan secara langsung siapa yang memimpin mereka.
Selain itu, koalisi menyebut pilkada langsung selama ini telah menjadi instrumen sirkulasi dan regenerasi kepemimpinan nasional. Telah banyak sosok dan figur pemimpin yang lahir dari proses Pilkada langsung dan secara berjenjang mengisi ruang politik di tingkat nasional.
"Jika mengembalikan Pilkada menjadi tidak langsung, maka rantai sirkulasi dan regenerasi kepemimpinan akan dapat dipastikan terganggu, nepotisme merajalela dan menciptakan otoritarianisme baru," kata koalisi.
"Daripada menghidupkan kembali wacana Pilkada tidak langsung, pembentuk Undang-undang seharusnya fokus memperbaiki tata aturan kepemiluan untuk menjawab persoalan politik uang," imbuh mereka.
Langkah-langkah itu dapat dilakukan di antaranya dengan memperkuat pengaturan dana kampanye, meningkatkan efektivitas penegakan hukum, memperbaiki sistem audit, memperkuat transparansi pendanaan politik, dan mendorong pelembagaan partai politik yang lebih demokratis.
"Berdasarkan uraian di atas, Koalisi untuk Kodifikasi UU Pemilu dengan tegas menolak wacana pengembalian Pilkada kepada DPRD. Kami juga menegaskan bahwa mekanisme tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusional, mereduksi kedaulatan rakyat, dan membuka ruang transaksi politik yang lebih gelap di balik pintu tertutup DPRD," tegas mereka.
Sebelumnya, tepatnya pada saat menghadiri acara puncak HUT ke-61 Partai Golkar di Istora Senayan, Jumat (5/12), Presiden Prabowo mengaku sedang mempertimbangkan gagasan Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia perihal Pilkada lewat DPRD.
Usulan itu muncul dengan dalih Pilkada langsung yang selama ini berjalan telah memakan biaya politik tinggi.
"Kalau sudah sekali memilih DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi, ya kenapa enggak langsung aja pilih gubernurnya dan bupatinya? Selesai," kata Prabowo.
"Itu dilaksanakan oleh Malaysia, itu dilaksanakan oleh India, itu dilaksanakan oleh banyak negara; Inggris, Kanada, Australia, negara terkaya di dunia pakai sistem politik yang murah," sambungnya.
Prabowo juga menyarankan politik Indonesia harus mencirikan prinsip gotong royong setelah proses pemilu selesai.
"Sekali lagi saya sampaikan keyakinan saya, politik demokrasi Indonesia harus bercirikan: persaingan pada saat bersaing, begitu selesai bersaing, bersatu, kompak, gotong royong, kerja sama," katanya.
(ryn/kid)

1 hour ago
1

















































