OPINI - Kolaborasi antara Pemerintah Kabupaten Bogor dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (GtoG), secara strategis dapat diaplikasikan dalam bentuk pembangunan fasilitas “Park and Ride”. Kerjasama ini “mewakili” pendekatan strategis dalam mengoptimalkan sumber daya regional, sekaligus solusi paling objektif dalam mengatasi disparitas ekonomi untuk meningkatkan efisiensi mobilitas urban.
Kabupaten Bogor adalah penyangga utama ibu kota, bukan hanya sekedar “labelling-geografis”, namun berperan vital dalam menjaga kestabilan ekonomi dan sosial bagi DKI Jakarta melalui penyediaan tenaga kerja dan lahan residensial untuk mendukung ekspansi Jakarta sebagai kota metropolitan.
Merujuk data dari Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru, dari total 3, 6 juta pekerja komuter di wilayah Jabodetabek pada tahun 2023, Kabupaten Bogor menyumbang mayoritas tenaga kerja ke Jakarta, yaitu sekitar 459 ribu orang atau setara dengan 12, 7 persen dari total 5, 6 juta jiwa populasi penduduk di Kabupaten Bogor, Ini membuktikan bahwa antara Jakarta dan Kabupaten Bogor memiliki ketergantungan simbiotik, yang tidak hanya mendukung sektor formal di Jakarta, tetapi juga “memicu” eksternalitas negatif seperti; kemacetan lalu lintas yang menimbulkan kerugian ekonomi hingga Rp.100 triliun per tahun di Jabodetabek, mencakup hilangnya produktivitas, peningkatan biaya transportasi dan degradasi kualitas hidup akibat polusi udara, serta waktu tempuh yang berkepanjangan.
Dari Aspek Hukum dan Kebijakan transportasi publik, Kerjasama “G to G” antara pemerintah Kabupaten Bogor dan Provinsi DKI Jakarta dapat dilaksanakan sesuai amanat undang-undang dan regulasi yang ada, menawarkan skema saling menguntungkan yang lebih stabil jika dibandingkan dengan model kerjasama berbasis investasi asing yang rentan terhadap fluktuasi geopolitik dan birokrasi panjang. Pendekatan ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang memfasilitasi integrasi wilayah melalui mekanisme bagi hasil, alokasi anggaran bersama, dan koordinasi lintas daerah untuk mengefisiensikan sumber daya.
Pembangunan fasilitas “Park and Ride” di lokasi strategis yang telah disepakati bersama “memungkinkan” DKI Jakarta memanfaatkan surplus anggarannya untuk mendukung infrastruktur bersama, sementara Kabupaten Bogor memperoleh “peningkatan” konektivitas dan pendapatan tanpa ketergantungan eksternal. Model ini terbukti efektif dalam mengurangi ketimpangan regional, sebagaimana dibuktikan oleh studi kasus serupa di kota-kota metropolitan seperti Munich dan Jerman, di mana kolaborasi antar Pemerintah Daerah “terbukti” dapat mengurangi kemacetan hingga mencapai 40 persen melalui jaringan yang terintegrasi tersebut.
Beberapa masalah strategis seperti rendahnya porsi anggaran dan pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Bogor dalam peran dan fungsinya sebagai wilayah penyangga vital ibukota ikut memperburuk ketidakseimbangan fiskal regional. Sebaliknya, PAD Provinsi DKI Jakarta adalah sekitar 21 kali lipat lebih tinggi dari Kabupaten Bogor. Disparitas ini kemudian membatasi kemampuan Pemerintah Kabupaten Bogor dalam mengembangkan infrastruktur mandiri, sementara konektivitas tinggi dengan Jakarta dari lonjakan penumpang KRL Commuter Line Jabodetabek hingga 166, 4 juta orang pada semester pertama 2025 (naik 6, 13% year-on-year) pada akhirnya justru akan memperparah kemacetan dan beban lingkungan, sehingga membutuhkan perhatian yang serius dari kedua pemerintah daerah.
Selain itu, Implementasi dalam memperkuat kawasan metropolitan yang terintegrasi juga menghadapi hambatan struktural seperti; koordinasi antar-instansi yang lemah, keterbatasan lahan, dan resistensi perubahan perilaku masyarakat. Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) 2025-2030 menargetkan peningkatan modal-shift ke transportasi publik sebesar 25 persen, namun realisasinya masih terganjal oleh kurangnya infrastruktur pendukung di wilayah penyangga seperti Kabupaten Bogor. Tantangan ini diperburuk oleh ketersediaan lahan yang terbatas dan birokrasi lintas daerah yang sering menghambat proyek kerjasama G to G.
Solusi strategis yang terbaik adalah dengan mempercepat kolaborasi antara Pemerintah Kabupaten Bogor dan Provinsi DKI Jakarta untuk mendesain pembangunan fasilitas Park and Ride, yang tidak hanya dapat “mengatasi” masalah disparitas fiskal melalui redistribusi sumber daya, tetapi juga memperkuat integrasi wilayah Jabodetabek sebagai kawasan metropolitan yang berkelanjutan dan selaras dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Hadirnya fasilitas parkir yang terintegrasi dengan transportasi publik memungkinkan pengguna komuter untuk memarkir kendaraan pribadi di lokasi strategis Bogor sebelum beralih ke KRL atau bus TransJakarta, sehingga inisiatif ini dapat menjadi instrumen utama untuk mengurangi “influx” kendaraan ke Jakarta hingga mencapai 20 hingga 30 persen (studi berdasarkan model transportasi metropolitan global seperti di Munich dan Jerman).
Di dalam skema GtoG, Provinsi DKI dapat mengalokasikan surplus PAD-nya sebagai “seed-funding” awal (Rp.200-500 miliar per fasilitas untuk 5 lokasi prioritas, seperti Stasiun Bojonggede, Cibinong, dan rest area tol Jagorawi), dengan mekanisme bagi hasil yang proporsional, Kabupaten Bogor dapat memperoleh 60-70?ri retribusi parkir tahunan (estimasi Rp.200-500 miliar per lokasi) dan peningkatan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dari eskalasi nilai properti sekitar (15-20 persen), sementara Provinsi DKI Jakarta akan mendapatkan pengurangan beban kemacetan yang merugikan Rp.100 triliun per tahun secara agregat.
Strategi ini lebih “feasible” dibandingkan dengan model skema investasi asing, karena berbasis kepentingan bersama tanpa volatilitas eksternal, dan mendukung target RITJ melalui integrasi sistem melalui sinkronisasi jadwal KRL (setiap 05-10 menit), Bus Transjabodetabek, shuttle gratis antar-moda yang dilengkapi dengan fasilitas memadai seperti CCTV, ruang tunggu ber-AC, dan aplikasi real-time untuk informasi lalu lintas.
Sebagai upaya untuk mengatasi hambatan struktural, Kerjasama GtoG wajib didesain di atas fondasi institusional yang kuat, pembentukan Satuan Tugas Lintas Daerah (Satgas GtoG) sangat dibutuhkan untuk mempercepat proses perizinan dan akuisisi lahan bersama, dengan prioritas relokasi aset negara tak terpakai di perimeter Jakarta-Bogor. Resistensi perilaku masyarakat dapat diatasi melalui paket insentif-disinsentif progresif, seperti diskon 50 persen tarif parkir bagi pemegang tiket KRL bulanan, prioritas akses shuttle, dan kenaikan tarif parkir pusat kota Jakarta hingga Rp.20.000 per jam untuk kendaraan pribadi serta memasukkan program tambahan seperti dukungan kampanye sosialisasi digital lintas daerah (via aplikasi JakLingko dan media sosial) yang menargetkan 1 juta pengguna baru dalam tahun pertama.
Keterbatasan lahan dapat diminimalkan dengan desain vertikal multifungsi, yaitu mengintegrasikan parkir dengan ruang komersial (sewa lisensi untuk minimarket dan kafe, potensi tambahan Rp.50-100 miliar per tahun) guna memanfaatan koridor hijau untuk mengurangi emisi karbon agar selaras dengan target pengurangan 30 persen emisi Jabodetabek pada tahun 2030.
Secara keseluruhan, solusi kerjasama GtoG ini bukan hanya remediasi, melainkan transformasi untuk mengubah disparitas fiskal menjadi sinergi regional, mengurangi kemacetan dan meningkatkan kesejahteraan 459 ribu pengguna komuter harian Bogor-Jakarta. Dengan komitmen bersama, inisiatif ini dapat menjadi blueprint berkelanjutan bagi integrasi metropolitan Indonesia.
Ayo Kabupaten Bogor, saatnya berkolaborasi untuk mengatasi tantangan transportasi dan menjadikan Kabupaten Bogor sebagai role model tata kelola transportasi yang progresif di wilayah penyangga ibu kota.
Bogor, 31/10/2025
Ferry Anto, ST adalah Pakar Kebijakan Transportasi Publik

1 day ago
8

















































